Sunday, September 29, 2013

Sepotong dari yang Berhasil Dibaca dari Constructing the Subject: Deconstructing the Text-nya Tante Catherine Belsey

Subjek dalam Ideologi.
Dalam esainya yang terkenal, “Ideologi and ideological state apparatuses”, Louis Althusser memasukkan literatur sebagai satu sarana ideologi yang berperan dalam proses mereproduksi hubungan sosial yang merupakan kondisi penting  untuk eksistensi dan keberlangsungan dari bentuk produksi kapitalis. Fiksi realis klasik sebagai literatur yang dominan di abad 19 dan diperdebatkan pada abad 20 tidak hanya merepresentasikan mitos dan versi imajiner dari hubungan sosial sebenarnya yang membangun ideologi, namun juga melibatkan pembaca, memberi identitas pada pembaca, dan memberi posisi pembaca sebagai subjek dalam ideologi.
Ideologi merupakan hubungan yang nyata dan juga semu. Nyata dalam artian ini merupakan cara di mana manusia benar-benar menjalani hubungan sosial yang mengatur eksistensinya, namun juga semu dalam konteks bahwa sebenarnya manusia tidak memiliki pemahaman penuh atas ideologi tersebut.
Ideologi sebenarnya juga tidak sepenuhnya menyajikan kebenaran, namun sepertinya hal tersebut diabaikan sehingga kita menganggap hal tersebut kebenaran sepenuhnya. Misalnya mengenai filosofi dan agama.
Ideologi tidak memiliki pencipta karena sudah langsung ada dan berlangsung, namun didukung dan diteruskan oleh apa yang disebut Ideological State Apparatus, contohnya sekolah, keluarga, hukum, dan seni. Ideological State Apparatus ini berbeda dengan Repressive State Apparatus yang bekerja dengan tekanan (polisi, tentara)
Guna ideologi adalah untuk membangun manusia sebagai subjek individual. Manusia adalah individu yang bekerja berdasarkan subjektivitas atau kesadaran diri yang merupaka sumber dari kepercayaan dan tingkah lakunya. Manusia menjadi unik, tidak dapat disamakan.
Namun, kejelasan subjektivitas sendiri dilawan oleh teori linguistik yang mengatakan bahwa adalah bahasa yang menawarkan kemungkinan subjektivitas. Kesadaran diri ditentukan oleh kekontrasan antara “I” dan “non-I”.
Subjek merupakan “fungsi” dari bahasa. Manusia menjadi subjek pembicara hanya dengan mengatakan pendapatnya. Namun, walaupun hanya sistem penanda yang memungkinkan adanya subjek pembicara, kita tidak dapat memnyebutkan subjektivitas non-pembicara, non-penanda sebagai “kesadaran silent and intuitive”. Masalahnya adalah untuk membedakan kesadaran-dalam-diri dengan kesadaran yang lain, dan juga terutama kesadaran dari diri.
Menurut re-reading Freud oleh Lacan, bahasa memungkinkah pemisahan antara kesadaran diri dengan pemaknaan, pengetahuan, dan perbuatan. Bayi diibaratkan sebagai hommelette—anak kecil sekaligus telur yang pecah dan menyebar tanpa batas ke segala arah. Anak tidak punya identitas. Selama mirror-phase, anak mengenali dirinya di kaca sebagai unit yang terpisah dari dunia luar. Perkenalannya dengan bahasa lah yang membuatnya menjadi subjek. Untuk memasuki formasi sosial, anak harus harus mematuhi order simbolik (bahasa), karena jika tidak begitu, ia akan dianggap “sakit” dan tidak dapat menjadi bagian dari masyarakat.
Subjek terkonstruksi dalam bahasa dan ideologi. Ideologi membangun peran bahasa dalam konstruksi subjek. Sebagai hasil, manusia mengenal(mengira) dirinya di mana ideologi memberi mereka identitas, memberi mereka peran sebagai subjek, memanggil dengan nama dan mengenali keberadaan mereka. Dalam kapitalisme, mereka secara bebas menukarkan tenaga dengan bayaran, dan dengan “sukarela” membeli apa yang mereka hasilkan. Subjek bukan hanya merupakan subjek gramatikal, “pusat dari inisiatif, memiliki otoritas dan tanggung jawab atas perbuatannya”, namun juga “subjected being” yang bertanggung jawab pada otoritas yang lebih tinggi. Misalnya Tuhan, raja, atasan.
Ketidaksadaran dibangun saat masuk pada order symbolic, sejalan dengan dibangunnya subjek. Masa anak masuk ke order simbolik memberi anak kebebasan dalam bersosialisasi karena anak dapat mengemukakan hasratnya dengan permintaan, namun masa tersebut juga mengkhianatinya dalam konteks ketidaktahuan mengenai hasrat mana yang tetap berada dalam ambang ketidaksadaran.
Berbicara mengenai dua sisi tersebut, perempuan berada dalam wacana yang berbeda, wacana liberal-humanis yang diidentikkan dengan kebebasan, kemandirian, rasionalitas dan sekaligus wacana yang dibangun masyarakat mengenai perempuan yang identic dengan submisif, tidak mampu, dan irasional.
Tidak ada yang menjamin bahwa sastra saja dapat menggerakkan krisis dalam formasi sosial. Namun, sastra sebagai bentuk penggunaan bahasa yang paling persuasif dapat mempengaruhi bagaimana manusia memahami dirinya dan hubungannya dengan masyarakat.

Subjek dan Teks
                Ideologi memberi peran bahasa dalam konstruksi subjek dan peranannya dalam pemahaman subjek serta menyajikan individu sebagai subjektivitas yang bebas, menyatu, dan independen. Realisme klasik menyajikan karya ideologi. Tidak hanya representasi dari subjek yang merupakan asal dari pemaknaan, pengetahuan, dan perbuatan, namun juga memberi pembaca posisi sebagai subjek.
                Puisi pada masa Romantik dan Post-Romantik mengambil tema utama subjektivitas, berbeda dengan fiksi yang lebih membahas hubungan sosial daripada subjektivitas. Peran penulis sebagai subjek mungkin hanya nama di atas cover karya. Pembaca diundang untuk menyajikan dan mengungkap “kebenaran” pada teks sebagaimana yang disampaikan penulis.
                Realisme klasik  ditandai dengan adanya “ilusionisme”, narasi yang mengarah kepada “akhir” dan “hirarki dari wacana” yang memberi kebenaran pada cerita. Realisme klasik membentuk enigma melalui ketidaksesuaian yang menimbulkan kekacauan pada budaya konvensional dan sistem penanda.
                Misalnya, pada cerita detektif, momen penutupannya selalu berupa penjelasan mengenai tersangka dan apa motif kejahatannya. Realisme klasik memberi pembaca posisi “mengetahui” yang sama dengan suara narasinya.

Mendekonstruksi Teks
                Ideologi sebenarnya inkonsisten, terbatas, kontradiktif, dan teks realis berpartisipasi dalam hal ini. Objek dari dekonstruksi adalah proses dari produksi. Bukan pengalaman pribadi dari penulis, namun mode produksinya, materi, dan penyusunannya. Tujuannya adalah mencari poin kontradiksi dalam teks. Ketika tulisan sudah penuh kontradiksi, maka tulisan menjadi plural, terbuka untuk interpretasi, tidak hanya untuk konsumsi pasif namun juga objek bagi pembaca untuk memproduksi makna.
                Dekonstruksi cenderung untuk menemukan makna pada bagian yang terpinggirkan, berbeda dengan hirarki konsep yang mengerangkai teks. Prosedurnya yaitu mengidentifiksai makna kontras pada teks, lalu mencari tanda “otherness” yang mengikis hal-hal yang benar-benar terlihat.
                Teks realisme klasik merupakan teks yang pergerakannya maju. Di akhir cerita, kebenaran akan terungkap. Namun kadang symbol-simbol mengacaukan urutan narasinya sehingga membuat teks tersebut memiliki timbal balik, bebas, dan plural. Teks yang readable bertujuan untuk sekedar dikonsumsi pembaca namun teks plural membutuhkan produksi makna melalui polyphony-nya. Dekonstruksi untuk membangun kembali teks sebagai objek plural merupakan hasil dari kritik.
                Pergerakan narasi dibagi menjadi dua: pergerakan maju dan pergerakan ke bagian tersamarkan—memperpanjang narasi dengan menunda akhir dari cerita melalui serangkaian sikap diam, memikat pembaca, jawaban dari pertanyaan muncul, berdalih.
                Karya sastra “terdiri dari perbedaan nyata dari elemen yang memberi substansi”. Literature merupakan bentuk spesifik dan tidak dapat dikurangi dari wacana, namun bahasa yang menyusunnya adalah bahasa ideologi.
                Teks realis merupakan representasi, struktur yang jelas yang mengklaim dapat menjelaskan hubungan yang jelas antar elemennya. Ketidaksadaran dalam karya dibangun dalam masuknya karya tersebut dalam bentuk sastra, dalam jarak antara kerja ideologis dan bentuk karya.
                Objek dari kritik ini bukanlah untuk mencari kesatuan dari karya, namun juga berbagai ragam dan perbedaan dari makna-makna yang memungkinkan, ketidaklengkapannya, penghilangannya, dan kontradiksinya.
                Mendekonstruksi teks berarti membukanya, mencari kemungkinan tentang kejelasannya, termasuk yang membuka ketimpangan dari ideologi yang tersirat dari teks.

Mengenai Sherlock Holmes
                Dalam kisah Sherlock Holmes yang berjudul Charles Augustus Milverton, di antara kisah utama, ada kisah lain yang dinarasikan. Narasi tersebut tidak lengkap dan dikaburkan. Sherlock Holmes kemudian mengungkap keajaiban dan misteri untuk memperjelas segala hal.
                Karya ini merefleksikan karakteristik period tersebut yang menyangkut kekuatan komprehensif dari sains. Cerita yang alurnya berjalan dari enigma hingga penyelesaian, memotret struktur teks realis klasik secara sempurna. Untuk keperluan ilmu pengetahuan, tidak ada lagi yang tidak terungkap di saat penyelesaian.
                Walaupun begitu, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh sains yaitu tokoh permepuan yang selalu digambarkan misterius. Sebagai contoh, dalam “The Dancing Men”, dalam kisah proses pemecahan sandi ini digambarkan ada narasi lain yang tidak jelas yang walaupun begitu membangun cerita secara keseluruhan, yaitu narasi mengenai Elsie.
                Belum ditemukan cara untuk menjelaskan seksualitas perempuan kecuali dengan cara metafora atau simbolik yang sebenarnya menyalahi realisme. Lebih signifikan lagi, penyajian perempuan sebagai tokoh yang tidak terungkap mengkontradiksi hakikat teks yang seharusnya menjadi eksplisit sehingga menggeser nilai keekplisitasan itu.

                Faktor ilmiah yang ada dalam karya Doyle ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya ini berurusan dengan fakta, namun kenyataan bahwa ini adalah fiksi mencegah kita melihat ini sebagai fakta. Teks realis klasik berada di antara fakta dan ilusi melalui simulasi realitas yang jelas, namun tetap saja bukan kenyataan. Fiksi tidak hanya berbicara mengenai kepentingan (kecuali dalam politik dan satir). Terkenal sebagai sains, serial Sherlock Holmes terbuka pada pembacaan dekonstruktif, karena karya ini di sisi lain merupakan fiksi pula.

Monday, April 8, 2013

BAB I nih calon skripsi


BAB I
Pendahuluan

1.1  Latar Belakang
Dalam dua novel dan satu kumpulan cerita pendek Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, yaitu a Study in Scarlet, Sign of Four, dan the Return of Sherlock Holmes, terdapat isu-isu mengenai kelas secara naratif yang disampaikan oleh Dr. John Watson selaku narator dan Sherlock Holmes sebagai tokoh yang dinarasikan. Kelas secara naratif tersebut kemudian diidentifikasi menjadi tiga hubungan, yaitu subjek-objek, hero-sidekick, dan master-apprentice.
Dalam wacana psikoanalisis Lacan, subjek terbagi menjadi dua, yaitu subject of enunciation dan subject of statement. Kedua jenis subjek tersebut ada di dalam tiga karya Doyle, yang kemudian menjadi masalah dalam penelitian ini, karena ketidakjelasan subjek yang kemudian menjadi ketidakjelasan objek juga. Hubungan Self dan Other yang membentuk pasangan kelas naratif antar subjek dan objek ini juga membantu mengungkapkan ketidakjelasan mengenai subjek dan objek yang terdapat dalam tiga karya tersebut. Ketidakjelasan antara subjek dan objek tersebut kemudian menjadi akar dari dua hubungan kelas secara naratif lainnya, yaitu hero-sidekick dan master-apprentice.
Dalam hubungan kelas naratif hero-sidekick, yang merupakan hubungan secara naratif dalam tiga karya Sherlock Holmes, di mana kemudian Sherlock Holmes memiliki peran sebagai hero dan Dr. John Watson sebagai sidekick, terdapat transaksi kepentingan. Hal ini terjadi karena peran Sherlock Holmes sebagai consulting detective yang tidak terlalu jelas dalam masyarakat, sifatnya yang kurang menyenangkan, dan individunya sendiri sebagai seorang pemadat,  tetap lebih signifikan dari Dr. John Watson yang seorang dokter, mantan dokter tentara, dan memiliki kehidupan normal, bahkan di cerita yang narasinya dibawakan oleh tokoh Dr. John Watson sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan, transaksi kepentingan apa yang membuat hubungan tersebut tetap berjalan?
Satu asumsi mengenai pertanyaan tersebut adalah karena tingkat intelejensia dari Sherlock Holmes dalam penyelesaian kasus lebih tinggi daripada Dr. John Watson. Hal ini mengantarkan kita kepada hubungan kelas yang terakhir, yaitu master-apprentice selaku hubungan kelas secara ekonomis. Dalam tiga karya Doyle yang akan dibahas, ada dialog-dialog dan narasi-narasi yang mengindikasikan hubungan tersebut. Namun, hubungan master-apprentice antar Sherlock Holmes dan John Watson tersebut pun, jika dikulik dari pemahaman Richard Aldrich mengenai apprenticeship, tidak sempurna, bahkan bisa dibilang kurang memenuhi syarat. Jadi, transaksi kepentingan yang terjadi dalam hubungan kelas ini juga menjadi satu topik penelitian.

1.2  Identifikasi masalah
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang, diperoleh pertanyaan yang kemudian menjadi identifikasi masalah dan acuan dalam mengerjakan (yang mudah-mudahan jadi) skripsi ini. Masalah tersebut adalah:
1.      Bagaimana ketidakjelasan hubungan subjek-objek tersebut menjadi akar dari hubungan kelas naratif hero-sidekick dan master-apprentice?
2.      Apa yang membuat hubungan transaksi kepentingan dari kelas secara naratif hero-sidekick yang berasal dari Sherlock Holmes dan Dr. John Watson terus berlangsung?
3.      Apa yang membuat hubungan transaksi kepentingan dari hubungan kelas secara ekonomis master-apprentice yang berasal dari Sherlock Holmes dan Dr. John Watson terus berlangsung?

1.3  Tujuan Penelitian
Dalam hubungannya dengan identifikasi masalah, dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian ini adalah:
1.      Memaparkan cara dari ketidakjelasan antara subjek dan objek mengakari hubungan kelas hero-sidekick dan master-apprentice.
2.      Menjelaskan keberlangsungan transaksi kepentingan antar Sherlock Holmes dan Dr. John Watson dalam hubungan kelas secara naratif hero-sidekick.
3.      Menjelaskan keberlangsungan transaksi kepentingan antar Sherlock Holmes dan Dr. John Watson dalam hubungan kelas secara ekonomis master-apprentice.

1.4  Kegunaan Penelitian
Saya berharap penelitian ini menunjukkan bagaimana satu hubungan kelas dapat membentuk hubungan kelas lainnya serta bagaimana satu transaksi kepentingan dapat membentuk transaksi kepentingan lainnya. Penelitian ini juga diharapkan untuk menjadi satu sarana bagi pembaca untuk memahami cerita Sherlock Holmes melalui sudut pandang saya. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan untuk menjadi bahan referensi tambahan bagi yang berkepentingan. Kegunaan lainnya, saya berharap agar penelitian ini menjadi satu contoh alasan untuk kita memaklumi bagaimana manusia secara tidak sadar membagi-bagi manusia-manusia lainnya berdasarkan hal-hal tertentu walaupun telah diajarkan dalam pelajaran moral agar manusia tidak melakukan hal tersebut.
1.5  Kerangka Pemikiran
Rangkaian penelitian ini dimulai dengan menemukan ketidakjelasan antar subjek dan objek antar Sherlock Holmes dan Dr. John Watson. Ketidakkjelasan antar subjek dan objek ini kemudian dijabarkan menjadi hubungan kelas secara naratif yaitu hero dan sidekick dan hubungan kelas secara ekonomis yaitu master dan apprentice.
Hubungan kelas secara naratif yaitu hero dan sidekick kemudian dipaparkan dengan menemukan tanda-tanda yang terjadi di dalam karyanya dengan bacaan-bacaan lain sebagai pembanding untuk menjelaskan bagaimana transaksi kepentingan antara hero dan sidekick dibentuk.
Hubungan kelas secara ekonomis yaitu master dan apprentice kemudian dipaparkan dengan menemukan tanda-tanda yang terjadi di dalam karyanya dengan bacaan-bacaan lain sebagai pembanding untuk menjelaskan bagaimana transaksi kepentingan antara master dan apprentice dibentuk.
1.6  Metodologi penelitian
Isu perbedaan kelas menjadi hal yang dominan dalam penelitian ini. Hubungan perbedaan kelas yang ada, yaitu subjek-objek, hero-sidekick, dan master-apprentice dibahas dengan pendekatan yang berbeda, karena ketiga hubungan tersebut sifatnya tidak sama.
Untuk ketidakjelasan yang terdapat dalam subjek dan objek, digunakan wacana psikoanalisis Lacan untuk mengidentifikasikan ketidakjelasan subject of enunciation dan subject of statement yang dikemukakan oleh Dr. John Watson sebagai narator. Penjelasan mengenai Self dan Other juga melandasi penelitian mengenai subjek dan objek antar Sherlock Holmes dan Dr. John Watson.
Dalam menjelaskan transaksi kepentingan antara satu hubungan kelas secara naratif dalam penelitian ini, yaitu hubungan hero-sidekick, untuk sementara ini saya menggunakan wacana mengenai hero dan sidekick Margery Hourihan. Kepatuhan dan ketidakpatuhan tiga karya Doyle ini dalam membentuk wacana hero-sidekick yang dijelaskan dalam wacana Hourihan tersebut mengantarkan kita kepada wacana mengenai master-apprentice.
Dalam menjelaskan transaksi kepentingan antara satu hubungan kelas secara ekonomis dalam penelitian ini, yaitu hubungan master-apprentice, untuk sementara ini saya menggunakan wacana mengenai pengajaran dalam hubungannya dengan apprenticeship Richard Aldrich. Kepatuhan dan ketidakpatuhan tiga karya Doyle ini dalam membentuk wacana master-apprentice yang dijelaskan dalam wacana Aldrich tersebut diharapkan menjelaskan apa yang terjadi di balik transaksi kepentingan antar dua tokoh tersebut.

Dina Syahrani Vionetta
180410100199

Tuesday, March 19, 2013

Seminar - Tes 2 (nanti dilanjut lagi lah)


BAB II
2.1 Sherlock Holmes dan Karya Pendahulunya
            Auguste Dupin ciptaan Edgar Allen Poe diyakini sebagai tokoh detektif pertama yang pernah diciptakan. Tokoh tersebut menginspirasi penulis-penulis cerita detektif generasi selanjutnya, seperti Hercules Poirot karya Agatha Christie dan Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle[1].
            Terdapat beberapa kesamaan di antara kisah Sherlock Holmes dan Auguste Dupin, yang mungkin menandakan terinspirasinya Doyle oleh Poe. Contohnya adalah tokoh sidekick dan protagonis yang tinggal bersama menyewa satu rumah (dalam the Murders in the Rue Morgue dan a Study in Scarlet) dan tokoh sidekick yang menulis jurnal mengenai tokoh protagonist (the Mistery of Marie Roget dan Sign of Four).
            Tokoh sidekick berperan sebagai narator di kedua cerita. Dalam cerita Sherlock Holmes, Dr. John Watson berperan sebagai narator. Namun, dalam Auguste Dupin, narator adalah teman dari Auguste Dupin, namun perannya tidak diceritakan.
2.2       Kelas secara naratif
2.2.1    Sidekick dan Protagonis
            Cara tokoh John Watson menarasikan gerak-gerik dan tingkah Sherlock Holmes menggambarkan peran Watson yang lebih terlihat seperti “pelengkap” dari Holmes, karena tokoh yang lebih banyak mengambil peran dalam cerita-cerita yang dibawakan Watson adalah Holmes. Menurut saya, tokoh Watson sendiri pun digambarkan memang merasa seperti itu. Misalnya, dalam Sign of Four, ketika Miss Mary Morstan datang menemui Sherlock Holmes, tokoh Watson merasa dirinya kikuk dan mengganggu pembicaraan antara detektif dan klien tersebut. Ketika Mary Morstan menunjukkan surat misterius dan membacakan bahwa ia boleh membawa dua orang teman, Watson pun masih merasa tidak harus ikut dan baru mau diajak setelah diiyakan oleh Sherlock Holmes dan Mary Morstan. Oleh karena itu, saya melihat semacam hubungan sidekick dan protagonist dalam hubungannya dengan penyelesaian. Hubungan inilah yang saya maksud sebagai perbedaan kelas naratif di antara kedua tokoh tersebut.
Fungsi sidekick di dalam cerita detektif ini, menurut saya cukup vital. Noelle Hay dalam artikelnya, “Evolution of a Sidekick”, menjelaskan bahwa sidekick dalam cerita berfungsi sebagai semacam penghubung dari tokoh protagonis kepada pembaca, atau tokoh yang lebih dapat dibayangkan oleh pembaca sebagai diri pembaca sendiri. Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa tokoh sidekick memiliki karakteristik yang lebih dapat berhubungan sosial daripada tokoh protagonis. Selain itu, menurutnya juga, tokoh sidekick memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa tokoh protagonis di dalam suatu cerita adalah karakter yang manusiawi. Misalnya, Sherlock Holmes, selain digambarkan sebagai karakter yang jenius, juga digambarkan sebagai karakter yang dingin, kaku, serius, dan tidak menyenangkan. Namun, dialog-dialog antara Watson dan Holmes dapat membuat pembaca memahami sisi manusiawi dari Holmes.
Strategi ini berbeda dengan strategi yang digunakan oleh Edgar Allen Poe, misalnya dalam “The Black Cat”. Dalam The Black Cat, narator adalah tokoh utama. Karena ketidaklaziman cara berpikir dan cara menarik kesimpulan dari  tokoh utama, pembaca langsung dihadapkan dengan satu cara berpikir yang aneh. Sepertinya hal ini mirip dengan teknik yang dikenalkan oleh Viktor Schklovsky di Art of Poetry. Teknik ini adalah teknik defamiliarization. Namun, di serial Sherlock Holmes, peran sidekick justru untuk memfamiliarisasikan kasus-kasus yang terjadi.
Jean-Paul Sartre dalam tulisannya, Being and Nothingness mengemukakan dua keberadaan, yaitu keberadaan secara sadar (being-for-itself) dan keberadaan secara tidak sadar (being-in-itself). Jika membicarakan hubungan keberadaan dalam konteks kesadaran dan ketidaksadaran, tentu saja ini mengacu pada pembentukan konsep diri (self). Dalam pembentukan diri menurut Sartre tersebut, muncul satu keberadaan lagi yang menimbulkan pertanyaan; bagaimana keberadaan diri tanpa orang lain (others)? Konsep being-for-others ini mewakili perbedaan kelas antara sidekick dan protagonist, yang kemudian akan saya sebutkan sebagai kelas naratif, dalam beberapa karya dari serial Sherlock Holmes. Konsep diri dalam serial Sherlock Holmes terbentuk dengan hubungan satu karakter dengan karakter lainnya, di mana dalam hubungan antar karakter tersebut terdapat ketidakseimbangan. Karakter Watson dalam serial Sherlock Holmes mengindikasikan being-for-other(s), di mana other yang dimaksud adalah Sherlock Holmes.
2.2.2    Subjek dan Objek.
Ada satu ketidakjelasan dalam Sherlock Holmes, yaitu mengenai subjek dan objek. Penggunaan kata I pada narator menjelaskan bahwa novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal. Ini menandakan bahwa I adalah subjek.
Konsep diferensiasi Saussure berlaku dalam argument ini. Adanya kata “I” atau “saya” tidak berpengaruh tanpa adanya pembeda. Pembeda tersebut dalam konteks kelas naratif yang ada di serial Sherlock Holmes ini adalah “you” dalam dialog antar tokoh dan “he” atau “his” dalam narasi yang dibawakan oleh Watson. Kedua pembeda tersebut merujuk kepada Sherlock Holmes.
Sementara itu, konsep kata I sebagai subjek ini dikemukakan oleh Emile Benveniste sebagaimana yang dikutip Catherine Belsey dalam esainya, Constructing the Subject: Deconstructing the Text. Menurut Benveniste yang merujuk pada konsep diferensiasi Saussure tersebut, “Language is possible only because each speaker sets himself up as a subject by referring to himself as I in his discourse”.
Penggunaan kata I dalam seluruh serial Sherlock Holmes menunjukkan bahwa narator adalah subjek. Narator adalah karakter utama jika merujuk kutipan Benveniste tersebut. Namun, masalah baru muncul ketika membicarakan konsep objek yang dikemukakan oleh Spivak. Spivak mengutip Foucault dan Deleuze dalam esainya, “Can the Subaltern Speak?”
 …the oppressed, if given the chance (the problem of representation cannot be bypassed here), and on the way to solidarity through alliance politics (a Marxist thematic is at work here) can speak and know their conditions. Spivak, 1988: 27
Kata “the oppressed” dalam kutipan tersebut menurut saya satu konteks dengan Watson dalam hubungannya dengan Sherlock Holmes. Watson seolah memiliki suara karena hubungannya yang dekat dengan Holmes dan itu pun berbicara mengenai Sherlock Holmes. Jadi, tetap saja, jika dihubungkan dengan esai Spivak, Watson berperan sebagai objek.
2.3       Transaksi Kepentingan antar Tokoh
2.4       Penyelesaian Kasus sebagai Komoditi




[1]  Dawn B. Sova. (2001). Edgar Allan Poe A to Z: The Essential Reference to His Life and Work. New York: Checkmark Books.


Drama - Why Tell a Story?


For me, telling story is one of the result from human needs to socializing. In socializing, people need to communicate, and telling story is a way to communicate. The example is, if two persons chat, both of them are telling stories, so it is the way to do two-ways communication. Telling story makes people know each other's point of view about things.

Beside that, people also need to be heard. Telling story fulfills that needs. Along with the needs to have knowledge and other point of views, people also need (or want) to share their knowledge or point of view. So that it is kind of "take and give" matter.

Drama - Merchant of Venice in Broadway Drama and Movie Version


In both version of Merchant of Venice, the first thing that I notice is the choices of costume. Since its setting is mentioned in the movie, which is in the mid of 16th century in Venice, but not mentioned in the Broadway drama, the choices of costume might refers to the setting. In the movie, the choices of costume is very much more old-fashioned than the Broadway version. For example, Shylock's costume in the Broadway version is more simple. It is like the Jews in America or England in the present time. However, in the movie, the outfit that is wore by Shylock is more "heavy", following the setting.

Beside the choices of costume, other difference is the stage. Both the movie and the drama are proscenium stage. In its Broadway drama, the stage is more simple and using less property. It also has blocking technique since it is "pure" proscenium stage. However, in the movie, we can see more extras, more scenery, and more point of view. I am agree with Resa that it is like "fake arena" in proscenium stage.

Friday, March 1, 2013

bab 1-masih setengah



BAB I PENDAHULUAN

1.1
Dalam karya Doyle, tampak adanya unsur-unsur pertukaran kepentingan antar tokoh protagonis (Holmes) dan sidekick (Watson). Hal ini ditunjukkan dengan adanya kutipan seperti berikut:
… again and again I had registered a vow that I should deliver my soul upon the subject; but there was that in the cool, nonchalant air of my companion which made him the last man with whom one would care to take anything approaching to a liberty. His great power, his masterly manner, and the experience which I had of his many extraordinary qualities, all made me diffident and backward in crossing him.
Namun, tokoh Watson terlihat tidak pernah meninggalkan Holmes dan Holmes pun tampak membutuhkan John Watson, seperti di saat Holmes menunjukkan dirinya selepas kematian palsunya di Reichenbach Falls.
Watson juga tampak membutuhkan Holmes, entah karena ada kebutuhan untuk meniru, seperti di “the Empty House”.

1.2
Setelah yang melihat kembali, ada transaksi kepentingan antar Sherlock Holmes dan John Watson. Kriminalitas dan/atau kasus sepertinya adalah komoditi dalam cerita ini, karena tanpa adanya kejahatan, tidak akan ada cerita yang berlangsung.
From a Marxist perspective, because the survival of capitalism, which is a market economy, depends on consumerism, it [commodification] promotes sign-exchange value as our primary mode of relating the world around us. Tyson, 2006: 62-3
 Hubungan mutualisme antara John Watson dan Sherlock Holmes menyiratkan adanya transaksi dalam hubungan mereka.

1.3
Tujuan penelitian adalah menunjukkan adanya transaksi kepentingan antar tokoh-tokoh tersebut.

Monday, January 14, 2013

Kelas Naratif dan Transaksi Kepentingan dalam Karya Sir Arthur Conan Doyle

Nama   : Dina Syahrani Vionetta
NPM   : 180410100199

Kelas Naratif dan Transaksi Kepentingan dalam Karya Sir Arthur Conan Doyle
“Three times a day for many months I had witnessed this performance, but custom had not reconciled my mind to it. On the contrary, from day to day I had become more irritable at the sight, and my conscience swelled nightly within me at the thought that I had lacked the courage to protest. Again and again I had registered a vow that I should deliver my soul upon the subject; but there was that in the cool, nonchalant air of my companion which made him the last man with whom one would care to take anything approaching to a liberty. His great power, his masterly manner, and the experience which I had of his many extraordinary qualities, all made me diffident and backward in crossing him.”
Hal pertama yang saya lihat dari beberapa novel Sherlock Holmes karya Doyle adalah posisi Holmes dari sudut pandang Watson selaku narator. Seperti narasi di atas, Sherlock Holmes digambarkan sebagai sosok yang misterius dan jenius, melebihi kecerdasan manusia di atas rata-rata. Suara narator yang banyak memposisikan Sherlock Holmes sebagai sosok yang superior jika dibandingkan dengan dirinya, bahkan memposisikan dirinya sebagai sosok yang tidak lebih hebat daripada Holmes, membuat saya menyadari bahwa ada semacam perbedaan derajat atau perbedaan kelas di antara Holmes dan Watson. Setidaknya, itulah yang digambarkan oleh suara narator.
Watson lebih terlihat seperti “pelengkap” dari Holmes, karena tokoh yang lebih banyak mengambil peran dalam cerita-cerita yang dibawakan Watson adalah Holmes. Oleh karena itu, saya melihat semacam hubungan sidekick dan protagonis. Hubungan inilah yang saya maksud sebagai perbedaan kelas naratif di antara kedua tokoh tersebut.
Menurut Noelle Hay dalam artikelnya, “Evolution of a Sidekick”, sidekick dalam cerita berfungsi sebagai semacam penghubung dari tokoh protagonis kepada pembaca, atau tokoh yang lebih dapat dibayangkan oleh pembaca sebagai diri pembaca sendiri. Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa tokoh sidekick memiliki karakteristik yang lebih dapat berhubungan sosial daripada tokoh protagonis. Selain itu, menurutnya juga, tokoh sidekick memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa tokoh protagonis di dalam suatu cerita adalah karakter yang manusiawi. Misalnya, Sherlock Holmes, selain digambarkan sebagai karakter yang jenius, juga digambarkan sebagai karakter yang dingin, kaku, serius, dan tidak menyenangkan. Namun, dialog-dialog antara Watson dan Holmes dapat membuat pembaca memahami sisi manusiawi dari Holmes.
Strategi ini berbeda dengan strategi yang digunakan oleh Edgar Allen Poe, misalnya dalam “The Black Cat”. Dalam The Black Cat, narator adalah tokoh utama. Karena ketidaklaziman dari cara berpikir dan cara menarik kesimpulan dari  tokoh utama, pembaca langsung dihadapkan dengan satu cara berpikir yang aneh. Sepertinya hal ini mirip dengan teknik yang dikenalkan oleh Viktor Schklovsky di Art of Poetry. Teknik ini adalah teknik defamiliarization. Teknik ini bertujuan untuk membawa pembaca ke sensasi yang seolah-olah tidak pernah dirasakan, padahal sering tapi luput untuk memperhatikan. Namun, di serial Sherlock Holmes, peran sidekick justru untuk memfamiliarisasikan kasus-kasus yang terjadi.
Ada satu diskusi di kelas mengenai Self and Desire yang menurut saya sangat mewakili permasalahan mengenai sidekick ini. Jean-Paul Sartre dalam tulisannya, Being and Nothingness mengemukakan dua keberadaan, yaitu keberadaan secara sadar (being-for-itself) dan keberadaan secara tidak sadar (being-in-itself). Jika membicarakan hubungan keberadaan dalam konteks kesadaran dan ketidaksadaran, tentu saja ini mengacu pada pembentukan konsep diri (self). Dalam pembentukan diri menurut Sartre tersebut, muncul satu keberadaan lagi yang menimbulkan pertanyaan; bagaimana keberadaan diri tanpa orang lain (others)? Konsep being-for-others ini mewakili perbedaan kelas antara sidekick dan protagonist, yang kemudian akan saya sebutkan sebagai kelas naratif, dalam beberapa karya dari serial Sherlock Holmes. Konsep diri dalam serial Sherlock Holmes terbentuk dengan hubungan satu karakter dengan karakter lainnya, di mana dalam hubungan antar karakter tersebut terdapat ketidakseimbangan. Karakter Watson dalam serial Sherlock Holmes mengindikasikan being-for-other(s), di mana other yang dimaksud adalah Sherlock Holmes.
Namun permasalahan Other tersebut berbeda jika saya membahas Subject dan Other dalam “Can The Subaltern Speak?” dari Spivak. Walaupun sedikit banyak Watson juga membahas dirinya sendiri dalam narasi yang dibawakan dalam cerita-cerita Sherlock Holmes, narasi tersebut tetap saja membawakan kisah Sherlock Holmes. Hal ini senada dengan apa yang disebutkan oleh Spivak dalam esainya:
“For the ‘true’ subaltern group, whose identity is its difference, there is no unrepresentable subaltern subject that can know and speak for itself; the intellectual’s solution is not to abstain from representation” (Spivak, 1988: 27)
Jadi, ada ambivalensi mengenai pembentukan Self dan Other di dalam serial Sherlock Holmes ini. Menurut saya, hal ini seperti dua sisi koin. Berbeda memang, namun tidak perlu dipisahkan atau ditentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Satu paragraf dari bagian awal novel Sign of Four tersebut juga mengemukakan satu ketidakjelasan, yaitu mengenai subjek dan objek. Penggunaan kata I pada narator menjelaskan bahwa novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal. Ini menandakan bahwa I adalah subjek.
Konsep diferensiasi Saussure berlaku dalam argument ini. Adanya kata “I” atau “saya” tidak berpengaruh tanpa adanya pembeda. Pembeda tersebut dalam konteks kelas naratif yang ada di serial Sherlock Holmes ini adalah “you” dalam dialog antar tokoh dan “he” atau “his” dalam narasi yang dibawakan oleh Watson. Kedua pembeda tersebut merujuk kepada Sherlock Holmes.
Sementara itu, konsep kata I sebagai subjek ini dikemukakan oleh Emile Benveniste sebagaimana yang dikutip Catherine Belsey dalam esainya, Constructing the Subject: Deconstructing the Text. Menurut Benveniste yang merujuk pada konsep diferensiasi Saussure tersebut, “Language is possible only because each speaker sets himself up as a subject by referring to himself as I in his discourse”.
Penggunaan kata I dalam seluruh serial Sherlock Holmes menunjukkan bahwa narator adalah subjek. Narator adalah karakter utama jika merujuk kutipan Benveniste tersebut. Namun, masalah baru muncul ketika membicarakan konsep objek yang dikemukakan oleh Spivak. Spivak mengutip Foucault dan Deleuze dalam esainya, “Can the Subaltern Speak?”
 “…the oppressed, if given the chance (the problem of representation cannot be bypassed here), and on the way to solidarity through alliance politics (a Marxist thematic is at work here) can speak and know their conditions.” Spivak, 1988: 27
Kata “the oppressed” dalam kutipan tersebut menurut saya satu konteks dengan Watson dalam hubungannya dengan Sherlock Holmes. Watson seolah memiliki suara karena hubungannya yang dekat dengan Holmes dan itu pun berbicara mengenai Sherlock Holmes. Jadi, tetap saja, jika dihubungkan dengan esai Spivak, Watson berperan sebagai objek.
“It can be imagined that my close intimacy with Sherlock Holmes had interested me deeply in crime, and that after his disappearance I never failed to read with care the various problems with care the various problems which came before the public. And I even attempted, more than once, for my own private satisfaction, to employ his methods in their solution, though with indifferent success…”
Dalam kutipan tersebut, ada pula kecenderungan dari Watson untuk meniru apa yang dilakukan oleh Holmes. Kutipan tersebut menurut saya berbicara mengenai hubungan master dan apprentice antar Holmes dan Watson. Karena hubungan ini pula, semakin senjang hubungan antar Holmes dan Watson, karena ada satu yang lebih di atas yang lain. Dalam hal ini, kecerdasan adalah yang menentukan kesenjangan tersebut.
Mimikri dalam On Mimicry and Men karya Bhabha, sebagai alat untuk membentuk kembali kesadaran yang almost the same, but not quite,  sepertinya adalah strategi yang digunakan Watson untuk membentuk dirinya agar menjadi seperti Sherlock Holmes. Namun, seperti apa yang ada di dalam kata-kata “almost the same, but not quite,” Watson tidak dapat membentuk secara persis apa yang dilakukan oleh Sherlock Holmes.
Lalu, setelah hubungan-hubungan yang memiliki kesenjangan antara Holmes dan Watson, apakah hubungan ekonomi antar mereka? Setelah yang melihat kembali, ada transaksi kepentingan antar Sherlock Holmes dan John Watson. Kriminalitas dan/atau kasus sepertinya adalah komoditi dalam cerita ini, karena tanpa adanya kejahatan, tidak akan ada cerita yang berlangsung.
“From a Marxist perspective, because the survival of capitalism, which is a market economy, depends on consumerism, it [commodification] promotes sign-exchange value as our primary mode of relating the world around us.” Tyson, 2006: 62-3
 Hubungan mutualisme antara John Watson dan Sherlock Holmes menyiratkan adanya transaksi dalam hubungan mereka. Selain sebagai teman untuk berpatungan membayar uang sewa apartemen di 221 B Baker Street, Watson dan Sherlock juga berbagi kepentingan dalam menyelesaikan kasusnya. Sejak pertemuan pertama Holmes dan Watson, dalam A Study in Scarlet, karakter Holmes selaku protagonis tampak terlihat membutuhkan adanya bantuan Watson, misalnya dalam membantunya mengidentifikasi apa yang terjadi kepada korban, walaupun menurut saya karakter yang digambarkan sepandai Sherlock Holmes mungkin dapat mengidentifikasi sendiri apa yang terjadi kepada korban.
Lalu, apa yang dapat ditawarkan Holmes kepada Watson? Walaupun Sherlock Holmes digambarkan juga sebagai karakter yang kaku, aneh, dan tidak dapat bergaul, narasi-narasi yang ada dalam serial Sherlock Holmes menggambarkan Holmes sebagai tokoh yang baik. Mungkin Watson sendiri juga mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan Sherlock Holmes, misalnya membantunya mendapatkan cerita untuk ditulis dalam jurnalnya.
Mungkin saya akan melanjutkan analisa saya lebih jauh jika diberikan kesempatan untuk melanjutkannya semester/tahun depan.

Daftar Pustaka.

Bhabha, Homi. On Mimicry and Men: The Ambivalence of Colonial Discourse. Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis. Massachusetts: The MIT Press, 1984. 125-133. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/ 778467.  Diakses pada 30/04/2012
Doyle, Sir Arthur Conan. 2007. The Complete Sherlock Holmes. New Lanark: Geddes & Grosset.
Hay, Noelle. (2001). Evolution of a Sidekick. Dilihat di http://www.sffworld.com/authors/h/hay_noelle/articles/evolutionofsidekick1.html. Diakses pada 9 Januari 2012.
Poe, Edgar Allen. (1843). The Black Cat. Dilihat di http://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/10/. Diakses pada 12 Januari 2012
Sartre, Jean-Paul. 1969. Being and Nothingness. London: Routledge.
Skhlovsky. Viktor. 2004. English Translation of Art as Technique. Page 15-21. Literary Theory: An Anthology. Malden. MA: Blackwell Pub.
Spivak, Gayatri C. “Can the Subaltern Speak?” Marxism and the Interpretation of Culture. Ed Cary Nelson and Lawrence Grossbergs. London: MacMillan, 1988. 24-27. Print.
Tyson, Louis. 2006. Critical Theory Today. New York: Taylor & Francis Group.