Subjek dalam Ideologi.
Dalam esainya yang terkenal, “Ideologi
and ideological state apparatuses”, Louis Althusser memasukkan literatur
sebagai satu sarana ideologi yang berperan dalam proses mereproduksi hubungan
sosial yang merupakan kondisi penting
untuk eksistensi dan keberlangsungan dari bentuk produksi kapitalis. Fiksi
realis klasik sebagai literatur yang dominan di abad 19 dan diperdebatkan pada
abad 20 tidak hanya merepresentasikan mitos dan versi imajiner dari hubungan
sosial sebenarnya yang membangun ideologi, namun juga melibatkan pembaca,
memberi identitas pada pembaca, dan memberi posisi pembaca sebagai subjek dalam
ideologi.
Ideologi merupakan hubungan yang
nyata dan juga semu. Nyata dalam artian ini merupakan cara di mana manusia
benar-benar menjalani hubungan sosial yang mengatur eksistensinya, namun juga
semu dalam konteks bahwa sebenarnya manusia tidak memiliki pemahaman penuh atas
ideologi tersebut.
Ideologi sebenarnya juga tidak
sepenuhnya menyajikan kebenaran, namun sepertinya hal tersebut diabaikan
sehingga kita menganggap hal tersebut kebenaran sepenuhnya. Misalnya mengenai
filosofi dan agama.
Ideologi tidak memiliki pencipta
karena sudah langsung ada dan berlangsung, namun didukung dan diteruskan oleh apa
yang disebut Ideological State Apparatus, contohnya sekolah, keluarga, hukum,
dan seni. Ideological State Apparatus ini berbeda dengan Repressive State
Apparatus yang bekerja dengan tekanan (polisi, tentara)
Guna ideologi adalah untuk
membangun manusia sebagai subjek individual. Manusia adalah individu yang bekerja
berdasarkan subjektivitas atau kesadaran diri yang merupaka sumber dari
kepercayaan dan tingkah lakunya. Manusia menjadi unik, tidak dapat disamakan.
Namun, kejelasan subjektivitas
sendiri dilawan oleh teori linguistik yang mengatakan bahwa adalah bahasa yang
menawarkan kemungkinan subjektivitas. Kesadaran diri ditentukan oleh
kekontrasan antara “I” dan “non-I”.
Subjek merupakan “fungsi” dari
bahasa. Manusia menjadi subjek pembicara hanya dengan mengatakan pendapatnya.
Namun, walaupun hanya sistem penanda yang memungkinkan adanya subjek pembicara,
kita tidak dapat memnyebutkan subjektivitas non-pembicara, non-penanda sebagai “kesadaran
silent and intuitive”. Masalahnya adalah untuk membedakan kesadaran-dalam-diri
dengan kesadaran yang lain, dan juga terutama kesadaran dari diri.
Menurut re-reading Freud oleh
Lacan, bahasa memungkinkah pemisahan antara kesadaran diri dengan pemaknaan,
pengetahuan, dan perbuatan. Bayi diibaratkan sebagai hommelette—anak kecil
sekaligus telur yang pecah dan menyebar tanpa batas ke segala arah. Anak tidak
punya identitas. Selama mirror-phase, anak mengenali dirinya di kaca sebagai
unit yang terpisah dari dunia luar. Perkenalannya dengan bahasa lah yang
membuatnya menjadi subjek. Untuk memasuki formasi sosial, anak harus harus
mematuhi order simbolik (bahasa), karena jika tidak begitu, ia akan dianggap
“sakit” dan tidak dapat menjadi bagian dari masyarakat.
Subjek terkonstruksi dalam bahasa
dan ideologi. Ideologi membangun peran bahasa dalam konstruksi subjek. Sebagai
hasil, manusia mengenal(mengira) dirinya di mana ideologi memberi mereka
identitas, memberi mereka peran sebagai subjek, memanggil dengan nama dan
mengenali keberadaan mereka. Dalam kapitalisme, mereka secara bebas menukarkan
tenaga dengan bayaran, dan dengan “sukarela” membeli apa yang mereka hasilkan.
Subjek bukan hanya merupakan subjek gramatikal, “pusat dari inisiatif, memiliki
otoritas dan tanggung jawab atas perbuatannya”, namun juga “subjected being”
yang bertanggung jawab pada otoritas yang lebih tinggi. Misalnya Tuhan, raja,
atasan.
Ketidaksadaran dibangun saat
masuk pada order symbolic, sejalan dengan dibangunnya subjek. Masa anak masuk
ke order simbolik memberi anak kebebasan dalam bersosialisasi karena anak dapat
mengemukakan hasratnya dengan permintaan, namun masa tersebut juga mengkhianatinya
dalam konteks ketidaktahuan mengenai hasrat mana yang tetap berada dalam ambang
ketidaksadaran.
Berbicara mengenai dua sisi
tersebut, perempuan berada dalam wacana yang berbeda, wacana liberal-humanis
yang diidentikkan dengan kebebasan, kemandirian, rasionalitas dan sekaligus
wacana yang dibangun masyarakat mengenai perempuan yang identic dengan
submisif, tidak mampu, dan irasional.
Tidak ada yang menjamin bahwa sastra
saja dapat menggerakkan krisis dalam formasi sosial. Namun, sastra sebagai
bentuk penggunaan bahasa yang paling persuasif dapat mempengaruhi bagaimana
manusia memahami dirinya dan hubungannya dengan masyarakat.
Subjek dan Teks
Ideologi
memberi peran bahasa dalam konstruksi subjek dan peranannya dalam pemahaman
subjek serta menyajikan individu sebagai subjektivitas yang bebas, menyatu, dan
independen. Realisme klasik menyajikan karya ideologi. Tidak hanya representasi
dari subjek yang merupakan asal dari pemaknaan, pengetahuan, dan perbuatan,
namun juga memberi pembaca posisi sebagai subjek.
Puisi
pada masa Romantik dan Post-Romantik mengambil tema utama subjektivitas,
berbeda dengan fiksi yang lebih membahas hubungan sosial daripada subjektivitas.
Peran penulis sebagai subjek mungkin hanya nama di atas cover karya. Pembaca
diundang untuk menyajikan dan mengungkap “kebenaran” pada teks sebagaimana yang
disampaikan penulis.
Realisme
klasik ditandai dengan adanya
“ilusionisme”, narasi yang mengarah kepada “akhir” dan “hirarki dari wacana”
yang memberi kebenaran pada cerita. Realisme klasik membentuk enigma melalui
ketidaksesuaian yang menimbulkan kekacauan pada budaya konvensional dan sistem
penanda.
Misalnya,
pada cerita detektif, momen penutupannya selalu berupa penjelasan mengenai
tersangka dan apa motif kejahatannya. Realisme klasik memberi pembaca posisi
“mengetahui” yang sama dengan suara narasinya.
Mendekonstruksi Teks
Ideologi
sebenarnya inkonsisten, terbatas, kontradiktif, dan teks realis berpartisipasi
dalam hal ini. Objek dari dekonstruksi adalah proses dari produksi. Bukan
pengalaman pribadi dari penulis, namun mode produksinya, materi, dan
penyusunannya. Tujuannya adalah mencari poin kontradiksi dalam teks. Ketika
tulisan sudah penuh kontradiksi, maka tulisan menjadi plural, terbuka untuk
interpretasi, tidak hanya untuk konsumsi pasif namun juga objek bagi pembaca
untuk memproduksi makna.
Dekonstruksi
cenderung untuk menemukan makna pada bagian yang terpinggirkan, berbeda dengan
hirarki konsep yang mengerangkai teks. Prosedurnya yaitu mengidentifiksai makna
kontras pada teks, lalu mencari tanda “otherness” yang mengikis hal-hal yang
benar-benar terlihat.
Teks
realisme klasik merupakan teks yang pergerakannya maju. Di akhir cerita,
kebenaran akan terungkap. Namun kadang symbol-simbol mengacaukan urutan
narasinya sehingga membuat teks tersebut memiliki timbal balik, bebas, dan
plural. Teks yang readable bertujuan
untuk sekedar dikonsumsi pembaca namun teks plural membutuhkan produksi makna
melalui polyphony-nya. Dekonstruksi untuk membangun kembali teks sebagai objek
plural merupakan hasil dari kritik.
Pergerakan
narasi dibagi menjadi dua: pergerakan maju dan pergerakan ke bagian
tersamarkan—memperpanjang narasi dengan menunda akhir dari cerita melalui
serangkaian sikap diam, memikat pembaca, jawaban dari pertanyaan muncul,
berdalih.
Karya
sastra “terdiri dari perbedaan nyata dari elemen yang memberi substansi”.
Literature merupakan bentuk spesifik dan tidak dapat dikurangi dari wacana,
namun bahasa yang menyusunnya adalah bahasa ideologi.
Teks
realis merupakan representasi, struktur yang jelas yang mengklaim dapat
menjelaskan hubungan yang jelas antar elemennya. Ketidaksadaran dalam karya
dibangun dalam masuknya karya tersebut dalam bentuk sastra, dalam jarak antara
kerja ideologis dan bentuk karya.
Objek
dari kritik ini bukanlah untuk mencari kesatuan dari karya, namun juga berbagai
ragam dan perbedaan dari makna-makna yang memungkinkan, ketidaklengkapannya,
penghilangannya, dan kontradiksinya.
Mendekonstruksi
teks berarti membukanya, mencari kemungkinan tentang kejelasannya, termasuk
yang membuka ketimpangan dari ideologi yang tersirat dari teks.
Mengenai Sherlock Holmes
Dalam
kisah Sherlock Holmes yang berjudul Charles Augustus Milverton, di antara kisah
utama, ada kisah lain yang dinarasikan. Narasi tersebut tidak lengkap dan
dikaburkan. Sherlock Holmes kemudian mengungkap keajaiban dan misteri untuk
memperjelas segala hal.
Karya
ini merefleksikan karakteristik period tersebut yang menyangkut kekuatan
komprehensif dari sains. Cerita yang alurnya berjalan dari enigma hingga
penyelesaian, memotret struktur teks realis klasik secara sempurna. Untuk
keperluan ilmu pengetahuan, tidak ada lagi yang tidak terungkap di saat
penyelesaian.
Walaupun
begitu, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh sains yaitu tokoh permepuan
yang selalu digambarkan misterius. Sebagai contoh, dalam “The Dancing Men”,
dalam kisah proses pemecahan sandi ini digambarkan ada narasi lain yang tidak
jelas yang walaupun begitu membangun cerita secara keseluruhan, yaitu narasi
mengenai Elsie.
Belum
ditemukan cara untuk menjelaskan seksualitas perempuan kecuali dengan cara
metafora atau simbolik yang sebenarnya menyalahi realisme. Lebih signifikan
lagi, penyajian perempuan sebagai tokoh yang tidak terungkap mengkontradiksi
hakikat teks yang seharusnya menjadi eksplisit sehingga menggeser nilai
keekplisitasan itu.
Faktor
ilmiah yang ada dalam karya Doyle ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya ini
berurusan dengan fakta, namun kenyataan bahwa ini adalah fiksi mencegah kita
melihat ini sebagai fakta. Teks realis klasik berada di antara fakta dan ilusi
melalui simulasi realitas yang jelas, namun tetap saja bukan kenyataan. Fiksi
tidak hanya berbicara mengenai kepentingan (kecuali dalam politik dan satir).
Terkenal sebagai sains, serial Sherlock Holmes terbuka pada pembacaan
dekonstruktif, karena karya ini di sisi lain merupakan fiksi pula.